Di umur yang sudah mencapai 23 tahun 7 bulan dan 17 hari, sepertinya saya sudah memasuki masa dimana orang tua mulai merasa khawatir dengan kisah cinta anak pertamanya. Tepat beberapa hari yang lalu, mama masuk ke dalam kamar di saat saya sedang duduk asyik di depan laptop. Tak lama kemudian beliau bertanya:
“Wan, sekadar info, mama punya beberapa teman yang mengajak mama jadi besan”
“Anaknya sekarang kuliah di jurusan ini, ada juga yang kuliah jurusan itu, blablabla”
“Kamu sudah punya calon?”
Dari pernyataan dan pertanyaan beruntun itu tentunya sudah jelas arah pembicaraan ini akan kemana. Mungkin bentuk lain dari pertanyaan ‘kapan nikah’. Sama halnya seperti celetukan teman saya saat nonton bareng piala dunia 2018 “Kalau pulang tidur masih pelukan sama guling mah mending kumpul di sini dulu aja”. Hanya saja bentuk lain itu diucapkan dengan gaya yang lebih halus. Mau tidak mau dan tertarik atau tidak, saya wajib membalas celetukan beliau ini.
“Sebenarnya saya sudah punya kenalan ma, bukan pacar ya, cuman bisa disebut akrab dan kami pernah membahas tentang rencana ke ‘depannya’, tapi entah si doi menganggap itu serius atau tidak. Tapi yang pasti tidak ada ikatan antara kami, dia bisa pergi kemana pun dan tentunya saya bisa pergi kemana pun (meski dengan beban pikiran) kalau memang bukan jodohnya”.
Mama membalas lagi. “Orang mana? Seumuran? Pakai jilbab kan? Ada fotonya? Blablabla”.
Dari balasan mama itu sepertinya beliau sangat bersemangat untuk membahas ini. Entah karena rasa khawatir beliau tentang status saya saat ini atau apa yang bisa membuat beliau menjadi seantusias itu. Sambil melanjutkan pekerjaan di depan laptop, ala kadarnya saya jawab satu per satu serangan pertanyaan beliau. Sampai akhirnya di akhir pembicaraan beliau meminta saya untuk tidak menyakiti hati perempuan manapun dan berpesan untuk segera menyelesaikan pendidikan Apoteker dan memiliki pekerjaan agar bisa segera melamar anak orang.
Karena memang kami semua tahu, di keluarga nenek tidak ada ceritanya melamar anak orang kalau belum menyelesaikan studi dan punya pekerjaan. Atau mungkin saya akan memecahkan rekor di keluarga ini? Entahlah.
Iya ma.
Saya yang sebetulnya ogah dan malu-malu-kucing saat mama membahas hal tersebut, akhirnya kepikiran di malam harinya.
Apakah memang sudah seharusnya saya menikah di umur segini? Atau ini hanyalah sekadar efek sementara dari banyaknya undangan perkawinan orang seumuran saya pasca lebaran idul fitri kemarin?
Jujur saja, kalau ditanya mau nikah sekarang atau tidak? Ya, dengan yakin saya akan menjawab sangat-ingin-sekali. Tapi jika ditanya siap atau tidak? Sepertinya saya belum bisa menjawab ini. Seolah masih ada satu atau dua tahap lagi yang harus saya jalani, apapun itu, mungkin hanya Tuhan dan waktu-Nya yang akan mengarahkan saya.
Salah satunya tentang bagaimana menjadi kepala keluarga yang baik, bagaimana cara saya membimbing, mengarahkan, dan berbagi semua kehidupan saya dengan orang yang akan menjadi istri saya nantinya. Atau bagaimana nantinya saya menjadi seorang ayah saat sudah mendapatkan anugerah anak. Itulah bagian dari puzzle yang mungkin harus saya cari sebelum akhirnya memutuskan berani melangkah untuk datang ke rumah calon istri dan berkata kepada bapaknya, “Pak, saya ingin menikahi anak bapak”.
Tanggung jawab, ya itulah kata yang lebih tepat. Tanggung jawab moril dan materiil sebagai seorang suami dan ayah.
Saya yakin rasa itu akan datang seiring berjalannya waktu. Entah kapan, tapi yang pasti tetap harus sabar, karena pernikahan tentu bukan hanya sekadar pembuktian kepada masyarakat, apalagi bekas pacar. Pernikahan lebih dari itu, pernikahan bukanlah tujuan, tapi merupakan awal. Pernikahan juga adalah kerja sama dan proses bertumbuh dari nol yang perlu persiapan secara lahir dan batin, karena pernikahan yang ideal adalah sebuah komitmen dan perjanjian sepanjang hayat.
Itu pemikiran menurut saya loh ya, mungkin pemikiran tentang pernikahan ini akan berbeda dengan orang yang seumuran atau yang sudah menikah dan memiliki pandangan yang lebih luas dibanding saya yang hidupnya hanya duduk depan laptop, makan, tidur, ke kampus, dan pulang (nongkrong sesekali). Silakan sampaikan pendapat Anda melalui kolom komentar di bawah jika memang itu perlu untuk disampaikan.