Kali ini saya ingin bercerita tentang kenyataan bahwa sebenarnya hidup itu murah, gengsinya yang mahal. Semoga kalian bisa menangkap apa yang ingin saya sampaikan dari cerita di dalam artikel ini.
Hidup Itu Murah, Gengsinya yang Mahal
Kemarin, tepatnya hari Jumat 21 April 2016. Saya kebetulan ada waktu untuk bersih-bersih lemari yang ada di kos. Di atas lemari ini saya jadikan sebagai tempat sisiran. Jadi otomatis di sana ada sisir dan gel rambut yang biasanya saya gunakan.
Karena kebetulan sejak pindah kos kurang lebih 2 tahunan (anggap aja 2 tahun), saya belum sempat bersih-bersih lemari itu. Jadinya bagian atas lemari penuh dengan kaleng-kaleng gel rambut kosong yang biasanya saya pakai. Setelah saya hitung, jumlahnya kurang lebih 10 kaleng. Sambil membereskan kaleng-kaleng kosong tersebut untuk dibuang ke bak sampah, tiba-tiba saya terpikir “Ini gel rambut, harga 1 kalengnnya hampir 100rb, kalau 10 totalnya sudah mencapai angka 1 juta”.
Saya berpikir lagi, kalau untuk keperluan gel rambut saja sudah menghabiskan 1 juta dalam waktu 2 tahun. Kira-kira berapa totalnya kalau ditambahkan dengan kosmetik lain seperti sabun badan, sabun cuci muka, shampo, pasta gigi dan sikat gigi yang saya gunakan selama 2 tahun ini? Buset, hidup mahal amat ya?
Itu persepsi pertama saya, hidup itu mahal.
Kemudian saya terpikir lagi, sebenarnya saya bisa saja kan hidup tanpa gel rambut? Tidak pernah saya melihat berita atau media pemberitaan online kalau ada seorang laki-laki meninggal secara tragis karena tidak pernah menggunakan gel rambut. Tidak ada, bukan?
Dan, setelah saya pikir-pikir lagi ternyata hidup itu tidak mahal, yang mahal itu gengsinya.
Iya benar. Persis seperti nikah, nikah itu sebenarnya murah (menurut Islam), hanya gengsinya saja yang mahal. Ingin di gedung besar lah, maharnya besar lah, tidak wajib, bukan? Ingat, gengsinya saja yang mahal.